Di kota metropolitan seperti ini, orang-orang sibuk mencari kerja; sedangkan ia memilih pergi. Saat jam makan siang tiba, ia sengaja memilih pergi ke rooftop gedung sendiri saja. Pelan diperhatikannya sekelilingnya: mobil-mobil terjebak macet, orang-orang yang ramai menuju warung makan kaki lima di sekitarnya, ojek online berjalan terburu dan dihentikan oleh penjaga keamanan kantor.
Sambil melihat sekeliling, ia merogoh kantong celana mengambil sekotak rokok Marlboro merah. Masih ada beberapa batang, pikirnya. Diambilnya satu lalu diselipkan di antara bibirnya. Hari itu ia merasa lebih bebas daripada orang-orang yang dipenjara oleh alarm bangun pagi dan dirantai dasi kerja. Ia masih belum tahu hendak apa selanjutnya. Di kepalanya, besok perlu dipikirkan besok. Ia percaya hal-hal besar segera datang. Barangkali begitulah caranya bertahan hidup dalam kesunyian yang berdendang begitu asyik di kepala.
Atasannya tidak memberi pekerjaan apapun untuk diselesaikan di hari terakhir ini. Ia hanya masuk kerja guna membersihkan meja dan alat kerja yang biasa ia pakai. Itu hari yang berawan, tapi entah mengapa di matanya cahaya meluap begitu besar. Seolah-olah ada minyak yang menyiram arang hampir padam. Saat jam makan siang telah usai, ia kembali ke kantor, duduk di kursi kerjanya sambil melihat sebuah foto terpampang di meja: seorang gadis yang telah lama tiada. Ia mengingat kembali masa-masa menyenangkan sebelum bekerja. Sudah dua tahun ia terjebak dalam pekerjaan ini--mencoba meloloskan diri dari belenggu kesepian yang justru membuat luka batinnya semakin menganga.
Beberapa jam terakhir di kantor dihabiskannya dengan menyelami memori-memori lama. Sesekali teman-teman kerja yang berseliweran di sekitar menyalami. Semoga lebih sukses di masa depan, kata mereka. Beberapa menyayangkan sikapnya, tapi keputusan tetaplah keputusan. Orang luar tidak akan pernah bisa mengetahui tekanan yang ia rasakan.
Sore tiba lebih awal. Jarum pada jam tangannya menunjuk pukul empat lewat tiga puluh menit. Segera dikemasinya sisa barang-barang ke dalam tas kulit yang tidak lagi kencang. Dalam diam diperhatikannya potret gadis itu, ia meremas potret itu begitu kencang. Sambil tersenyum, bingkai potret itu dilepasnya. Bingkai tersebut ditinggal dalam laci, lalu ia melipat potret gadis itu dan menyelipkannya di saku baju. Ia bergegas pergi. Keluar dari kantor, ia menuju ke sebuah parkiran. Setelah memasuki mobilnya ia berdiam sebentar.
Nafasnya begitu tenang. Hari yang lengang. Sambil bersender di jok mobil, dibukanya jendela mobil itu begitu lebar. Ia memejamkan mata. Tangannya tanpa sadar merogoh kotak rokok dan membakar satu lagi untuk dihisap. Ia rasakan asap yang perlahan mengepuli paru-parunya itu, namun sesak tak pernah hinggap. Kesunyiannya telah dibebaskan.
Setelah menghabiskan dua batang rokok, ia menutup jendela mobil dan menyalakan mesin. Ia rasakan baik-baik detak jantung mobil hari itu--tanpa sadar ia telah melewatkan banyak hal-hal sederhana di kehidupannya. Kesunyian telah menyita banyak hal menyenangkan, dan ia tersenyum begitu tenang di spion mobil. Ia menyalakan stereo di dalam mobil, yang terdengar adalah lagu dari Mogwai. Ke mana perginya kesepian itu? Ia tak peduli, luka batinnya perlahan mengering. Kesepian seharusnya telah pergi lama bersama gadis itu.
Hari itu, ia telah mengemasi pula barang-barang di apartemennya ke dalam mobil. Jok belakang sudah penuh dengan perkakas. Ke mana ia ingin pergi? Tak seorang pun tahu, termasuk dirinya. Ia hanya merasa lebih bebas dari apapun juga. Seperti burung-burung yang terbang melintasi benua untuk migrasi panjang. Seperti musim semi yang menanggalkan daun-daun kering untuk terbang.
Mobil berjalan. Melewati jalan-jalan yang tak biasa. Rute yang tak pernah ditempuh sebelumnya. Perjalanan menuju kebebasan yang tak terbendung. Perjalanan yang melewati berbagai macam hal-hal sederhana yang membuatnya tersenyum ringan. Sebuah senyuman tanpa beban. Sekarang ia sendirian dan semua terasa lebih ringan.
Malam-malam yang indah dilewatinya sambil memakan kebab ia duduk di atas kap mobilnya.
Pagi itu mobil melewati jalan di tepi pantai. Ia melihat matahari terbit begitu pelan seolah malu-malu di garis horison lautan. Mungkin juga memang tak pernah ada CD lain di dalam mobil, lagu-lagu dari Mogwai menemani dirinya ke dalam kedamaian. Setelah menepikan mobil, ia keluar. Dengan hanya menggunakan celana pendek dan sebuah sandal, ia merasakan kulit dan wajahnya diraba matahari pagi dan tertiup angin laut yang menyejukan. Rambutnya terkibas angin, dan entah sudah berapa lama ia tidak merasakan ketenangan setelah gadis itu pergi.
"Apakah aku merindukan semua perjuangan dan keinginan yang membara?", pikirnya. Lalu dibakarnya satu batang rokok terakhir dari kotak Marlboro yang sama.