Menuju Pembebasan

Meja kerjanya sudah dikosongkan sedemikian rupa.Setelah memberikan surat pengunduran diri beberapa minggu lalu, permintaan pengunduran diri itu akhirnya disetujui.

Di kota metropolitan seperti ini, orang-orang sibuk mencari kerja; sedangkan ia memilih pergi. Saat jam makan siang tiba, ia sengaja memilih pergi ke rooftop gedung sendiri saja. Pelan diperhatikannya sekelilingnya: mobil-mobil terjebak macet, orang-orang yang ramai menuju warung makan kaki lima di sekitarnya, ojek online berjalan terburu dan dihentikan oleh penjaga keamanan kantor.

Sambil melihat sekeliling, ia merogoh kantong celana mengambil sekotak rokok Marlboro merah. Masih ada beberapa batang, pikirnya. Diambilnya satu lalu diselipkan di antara bibirnya. Hari itu ia merasa lebih bebas daripada orang-orang yang dipenjara oleh alarm bangun pagi dan dirantai dasi kerja. Ia masih belum tahu hendak apa selanjutnya. Di kepalanya, besok perlu dipikirkan besok. Ia percaya hal-hal besar segera datang. Barangkali begitulah caranya bertahan hidup dalam kesunyian yang berdendang begitu asyik di kepala.

Di Sisi Lain

Bagaimana kau mengimani kesepian?

Kau merindukan berbagai macam
sorak sorai. Hidup begitu singkat,
dan dalam katamu
kita hidup hanya untuk menerka-nerka.

Kita sudah mencampakan
waktu, bukan?

Mungkin saja. Mungkin saja.

Langit terlanjur kebiruan.
Mungkin pukul enam sore.
Kau mengambil sigaret
dari kotak Marlboro merah itu

jemarimu yang lain menangankan genggamanku.

Kita sudah sampai di sisi lain
yang tak pernah kita duga.

Pergi Di Musim Yang Telanjang

Musim yang telanjang
selalu menggoda
di atas dipan kita.

Matahari menjadi hangat
di puting susunya
yang kelamaan
kita isap.

Pagi begitu perawan.
Sesudah siang:
jebol.

Yang tersisa, jelas
minta disudahi.

Mari segera pergi.
Pergi tanggalkan telinga di laci.
Pergi membangkang pada takdir sendiri.